Laman

Rabu, 01 Oktober 2014

Mungkinkah itu, Rumah ??

MUNGKINKAH, ITU, RUMAH ??


Bergegas dan terburu-buru .. tak ku temukan ada yang santai berjalan menikmati sore. Menikmati sang senja yang sedang menyampaikan salam perpisahannya. Begitu mempesona dengan warna emasnya. Bahkan diberikan waktu berhenti oleh lampu tiga warna saja mereka hadang dengan wajah-wajah kesal. Entahlah .. aku sedang berfikir kenapa. Apakah karena panas? Atau lelah? Atau takut berpisah dengan matahari?

Disini aku duduk dengan santai.. angin bertiup kencang dari atas kepalaku, dingin, tapi tidak menyiksa. Menekuri mesin ketik modernku. Mencoba berani menggambarkan situasi dengan kurang ajar. Aku tersenyum sendiri, menertawai. Beraninya aku?

Bus yang membawaku melaju, tersaruk lampu merah di hampir setiap 2 km didepan. Mungkin kesal, tapi bagaimana lagi? Jalan ini harus ditempuh. Mungkin dibelakang sana asap kekesalan bus-ku menderu, menghajar setiap mobil yang mengejar dan memaki dengan klakson tiada henti.
Ada pemandangan yang mengherankan didekat lampu merah. Ah selanjutnya mungkin bisa disebut pusat kemacetan, begitu mungkin. Di tengah jalan ada yang berjualan makanan-makanan. Bakpao, kacang. Ketika semua kendaraan berdesakkan ingin berjalan dan segera sampai rumah, mereka dengan santainya menunggu rejeki disana. Dengan sabar. Ah memang hidup itu misteri, kita takkan pernah tahu apa yang akan terjadi, bahkan sedetik setelah ini. Begitu juga rejeki. Satu yang pasti adalah kepercayaan. Selama kita percaya, pasti bisa.
Ah kenapa jadi kemana-mana. Padahal awalnya ku Cuma berniat menceritakan seujung kecil tanah yang tertutup. Disini, dipinggir jalan yang aku lalui. Di pusat pemerintahan negri yang kaya raya. Yang katanya kolam susu, zamrud khatulistiwa, yang tanahnya ajaib karna kayu dan batu akan jadi tanaman. Berhari-hari aku lewat sini, melewati jalan yang sama, pada jam-jam yang sama. Dengan bus dan seragam yang sama. Dengan orang yang sama yang duduk disampingku. Tentunya dengan kondisi jalan yang tidak jauh berbeda. Macet. Setiap hari kuhabiskan sekitar 6 sampai 7 jam di bus ini. Membosankan.
Awal ku melihat kotak itu, aku biasa saja, tapi kemudian pada hari selanjutnya aku bertanya-tanya. Kotak itu terpojok dibawah pohon. Terletak menempel ditembok sebuah bangunan yang bernama hotel. Bangunan hotelnya bagus, bagus sekali menurutku. Unik dan mungkin, ah bukan mungkin, pasti mahal. Menjulang tinggi seperti bangunan yang lainnya dikota ini. Berwarna orange cerah. Di sampingnya ada semacam taman dengan pohon-pohon palem dan tanaman rambat. Tidak begitu bersih. Namun bisa disebut taman. Diujung taman ada lekukan dari hotel itu. Dan ada pohon yang lumayan besar, yanh sepelukan tangan berdiri persisi didekat lekukan itu. Diantara pohon dan tembok ada kain yang membentang, mungkin kalau aku berdiri disana tingginya sedaguku. Lebarnya sekitar satu meter. Tak ada alas tak ada tutup. Hanya begitu, sisi satunya lagi tidak ada penutup. Hari kedua aku melihat seorang lelaki. Lusuh. Kumal. Namun entah kenapa, bagaimanapun aku merasa kalau dia masih termasuk orang-orang yang mau berusaha, bukan diam saja merenungi nasib, pasrah dan putus asa. Sore itu aku melihatnya sedang menghadap ketembok. Menuliskan sesuatu. Entah apa. Tapi aku merasa terharu. Aku berpikir keras. Mungkinkah itu, “rumah”?
Mungkinkah itu rumah? Untuk siapa? Bagaimana ia tidur?? Kalau hujan? Dimana kamar mandinya? Bagaimana ia mandi dan buang air? Dimana ia menyimpan barang berharganya?
Banyak sekali pertanyaan yang menumpuk. Begitu mirisnya. Tapi aku terharu. Aku berfikir. Lelaki itu adalah seorang ayah yang mengadu nasib untuk anak dan istrinya di desa. Menuliskan setiap kata rindunya di tembok yang kusam. Namun setidaknya aku tahu, lelaki itu termasuk orang-orang yang berusaha. Semoga setiap usahanya tidak sia-sia.


Harmoni, jakarta pusat
30 september 2014
17.47 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar