Laman

Selasa, 27 Januari 2015

MADZHAB vs MANHAJ



Mazhab & Manhaj

 
seringkali kita berdebat, adu mulut dengan saudara kita semuslim, sesama mukmin karena hal-hal yang sejatinya bisa diselesaikan dengan bijak, kebanyakan tentang fiqih, ataupun bid'ah dan lain-lainnya.. nah mungkin tulisan ini bisa melerai atau paling tidak mendinginkan hati dan pendapat masing-masing. selamat membaca, semoga bermanfaat.

Mazhab
Kata mazhab berasal dari kata zahaba yang artinya pergi. Mazhab artinya : tempat pergi atau jalan.  Pengertian mazhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya. Di antara tonggak penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab raksasa di tengah ratusan mazhab kecil lainnya. 

Keempat ulama mazhab itu adalah Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad.
Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui eksistensi dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad ini. Jika kita meneliti karya-karya ataupun fatwa-fatwa para imam madzhab yang dibukukan maka kita akan mendapatkan bahwa perbedaan mereka adalah pada persoalan fikih.
Dengan kata lain mereka berbeda pendapat pada masalah cabang dalam agama ini, dimana seseorang yang mumpuni memang bisa melakukan ijtihad, tentu saja dengan tetap berpegang pada al-Qur’an dan Hadits yang sahih.  Contohnya saja permasalahan yang mana lebih afdhal, shalat sunnah setelah shalat Jum’at dikerjakan di masjid atau di rumah? Berapa jumlah rakaatnya, apakah dua atau empat? Masing-masing madzhab bisa saja berbeda pendapat dalam masalah ini. Singkatnya perbedaan pendapat dalam madzhab ini adalah sesuatu yang bisa ditolerir.
Adapun dalam masalah aqidah maka mereka semua sama.  Aqidah imam empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad adalah yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allaah Ta'ala, bahwa Al-Qur’an itu dalam Kalam Allaah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.
Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama Salaf, di mana antara lain, bahwa Allaah Ta'ala itu dapat dilihat di akhirat, Al-Qur’an adalah kalam Allaah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan, Allaah Ta'ala ada di langit di atas Arsy-Nya.
Manhaj
Manhaj dalam bahasa artinya jalan yang jelas dan terang. Allaah Ta’ala berfirman, ”Untuk tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang…”
(QS. Al Maidah: 48)
Sedang menurut istilah, Manhaj ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap pelajaran-pelajaran ilmiyyah, seperi kaidah-kaidah bahasa arab, ushul ‘aqidah, ushul fiqih, dan ushul tafsir dimana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar. Dan manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para sahabat Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang secara langsung berada dalam didikan Nabiyullaah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Ada pendapat tidak perlu bermahzab yg penting sesuai Al quran dan As sunnah. Pendapat ini keliru, harusnya tidak boleh bermazhab hanya 1 atau taklid pada 1 mazhab saja. Jika dia tak bermazhab maka dari mana urusan fiqihnya dia dapat pendapat yang rajih? Semua memang kembali pada Al Qur'an dan As Sunnah namun kita butuh akan penjelasan dari dalil-dali itu yang diringkas oleh Imam 4 mazhab.
Kita harus bermazhab tapi bukan Taklid 1 mazhab melainkan pendapat terkuat yang dipilih. Inilah Manhaj yang benar, tidak taklid 1 Mazhab Misal masalah A dia ikuti pendapat terkuat yakni mazhab syafi'i Masalah B dia ikuti pendapat terkuat yakni mazhab hambali Artinya dia tidak patok pada pendapat Imam Syafi'i dalam semua soalan. Semua Imam 4 Mazhab ini melarang Taklid pada Mazhabnya.
Manakah lebih utama mazhab atau manhaj?
Manhaj mencakup semua mazhab, tidak taklid 1 mazhab, tidak terpusat 1 mazhab. Seperti yang diterangkan di atas bahwa Manhaj adalah jalan hidup yang lurus yang tentu mazhab masuk di dalamnya. Bukti Imam 4 Mazhab melarang Taklid pada pendapatnya.
·         IMAM ABU HANIFAH (IMAM MAZHAB HANAFI)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1.      “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2.      “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3.      “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allaah Ta'ala dan kabar Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)
·         IMAM MALIK (IMAM MAZHAB MALIKI).
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1.      “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2.      “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.      Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata,  ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya,  ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata,  ‘Apakah itu?’ Aku berkata,‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullaah Shallallashu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
Bisa kita lihat bagaimana Imam Malik meralat fatwanya karena adanya pendapat yang rajih (hadits hasan tadi).Beliau tidak menutup kebenaran. Beliau tidak takut meralat ucapannya sendiri.
·         IMAM ASY-SYAFI’I (IMAM MAZHAB SYAFI’I).
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau berkata,
1.      “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku.” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2.      “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.” (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3.      ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4.      ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ”  (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5.      “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6.      “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullaah Shalallaahu 'alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.”(Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7.      ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8.      “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Oleh karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9.      “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
Coba perhatikan bagaimana beliau sangat berhati-hati dan melarang keras taklid pada pendapatnya.
·         IMAM AHMAD BIN HANBAL (IMAM MAZHAB HAMBALI).
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1.      “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2.      “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.)" (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3.      “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam?
Sumber: Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullaah yang dibedah dalam kajian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar