Mazhab &
Manhaj
seringkali kita berdebat, adu mulut dengan saudara kita semuslim, sesama mukmin karena hal-hal yang sejatinya bisa diselesaikan dengan bijak, kebanyakan tentang fiqih, ataupun bid'ah dan lain-lainnya.. nah mungkin tulisan ini bisa melerai atau paling tidak mendinginkan hati dan pendapat masing-masing. selamat membaca, semoga bermanfaat.
Mazhab
Kata mazhab berasal dari kata zahaba
yang artinya pergi. Mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Pengertian mazhab menurut istilah dalam
kalangan umat Islam ialah Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat
seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya. Di antara
tonggak penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab
raksasa di tengah ratusan mazhab kecil lainnya.
Keempat ulama mazhab itu adalah Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad.
Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak
hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui eksistensi
dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad ini. Jika kita meneliti karya-karya
ataupun fatwa-fatwa para imam madzhab yang dibukukan maka kita akan mendapatkan
bahwa perbedaan mereka adalah pada persoalan fikih.
Dengan kata lain mereka berbeda
pendapat pada masalah cabang dalam agama ini, dimana seseorang yang mumpuni
memang bisa melakukan ijtihad, tentu saja dengan tetap berpegang pada al-Qur’an
dan Hadits yang sahih. Contohnya saja
permasalahan yang mana lebih afdhal, shalat sunnah setelah shalat Jum’at
dikerjakan di masjid atau di rumah? Berapa jumlah rakaatnya, apakah dua atau
empat? Masing-masing madzhab bisa saja berbeda pendapat dalam masalah ini. Singkatnya
perbedaan pendapat dalam madzhab ini adalah sesuatu yang bisa ditolerir.
Adapun dalam masalah aqidah maka
mereka semua sama. Aqidah imam empat,
Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad adalah yang dituturkan oleh Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan
tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka
justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allaah Ta'ala, bahwa Al-Qur’an
itu dalam Kalam Allaah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran
dalam hati dan lisan.
Mereka juga mengingkari para ahli
kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan
filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Mereka sepakat seperti keyakinan para
ulama Salaf, di mana antara lain, bahwa Allaah Ta'ala itu dapat dilihat di
akhirat, Al-Qur’an adalah kalam Allaah bukan makhluk, dan bahwa iman itu
memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan, Allaah Ta'ala ada di langit di atas
Arsy-Nya.
Manhaj
Manhaj dalam bahasa artinya jalan
yang jelas dan terang. Allaah Ta’ala berfirman, ”Untuk tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang
terang…”
(QS. Al Maidah: 48)
(QS. Al Maidah: 48)
Sedang menurut istilah, Manhaj ialah
kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap
pelajaran-pelajaran ilmiyyah, seperi kaidah-kaidah bahasa arab, ushul ‘aqidah,
ushul fiqih, dan ushul tafsir dimana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam
islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar. Dan manhaj yang benar
adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para
sahabat Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang secara langsung berada
dalam didikan Nabiyullaah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Ada pendapat tidak perlu bermahzab
yg penting sesuai Al quran dan As sunnah. Pendapat
ini keliru, harusnya tidak boleh bermazhab hanya 1 atau taklid pada 1
mazhab saja. Jika dia tak bermazhab maka dari mana urusan fiqihnya dia dapat
pendapat yang rajih? Semua memang kembali pada Al Qur'an dan As Sunnah namun
kita butuh akan penjelasan dari dalil-dali itu yang diringkas oleh Imam 4
mazhab.
Kita harus bermazhab tapi bukan
Taklid 1 mazhab melainkan pendapat terkuat yang dipilih. Inilah Manhaj yang
benar, tidak taklid 1 Mazhab Misal masalah A dia ikuti pendapat terkuat yakni
mazhab syafi'i Masalah B dia ikuti pendapat terkuat yakni mazhab hambali Artinya
dia tidak patok pada pendapat Imam Syafi'i dalam semua soalan. Semua Imam 4
Mazhab ini melarang Taklid pada Mazhabnya.
Manakah lebih utama mazhab atau
manhaj?
Manhaj mencakup semua mazhab, tidak
taklid 1 mazhab, tidak terpusat 1 mazhab. Seperti yang diterangkan di atas
bahwa Manhaj adalah jalan hidup yang lurus yang tentu mazhab masuk di dalamnya.
Bukti Imam 4 Mazhab melarang Taklid pada
pendapatnya.
·
IMAM ABU
HANIFAH (IMAM MAZHAB HANAFI)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin
Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1.
“Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah
madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2.
“Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada
perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu
Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i,
hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang
tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam
sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang
mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3.
“Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan
dengan kitab Allaah Ta'ala dan kabar Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal.
50)
·
IMAM MALIK
(IMAM MAZHAB MALIKI).
Beliau adalah Malik bin Anas,
dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya
aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka
perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah,
maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka
tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada
seorang pun setelah Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam, kecuali dari
perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallaahu
alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3. Ibnu Wahab
berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari
di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak
ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian
aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai
sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata,‘Al Laits bin Saad
dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi
Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan
hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullaah Shallallashu ‘alaihi
wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam
Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru
kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu
beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah
Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
Bisa kita lihat
bagaimana Imam Malik meralat fatwanya karena adanya pendapat yang rajih (hadits
hasan tadi).Beliau tidak menutup kebenaran. Beliau tidak takut meralat
ucapannya sendiri.
·
IMAM
ASY-SYAFI’I (IMAM MAZHAB SYAFI’I).
Beliau adalah Muhammad bin idris
Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau berkata,
1. “Tidak ada
seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullaah shallallaahu
'alaihi wa sallam. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah
kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Maka ucapan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam itulah
pendapatku.” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin
telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullaah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya,
hanya karena mengikuti perkataan seseorang.” (Ibnul Qayyim, 2/361, dan
Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian
mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullaah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullaah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi
di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah
shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’,
Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam
Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila
hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari
Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan
bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah
yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullaah Shalallaahu
'alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang
aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.”(Al-Hilyah
9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu
melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan
dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah
berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa
yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam
terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi
adalah lebih utama. Oleh karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu
Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits
yang shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka hal itu adalah
pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
Coba perhatikan bagaimana beliau
sangat berhati-hati dan melarang keras taklid pada pendapatnya.
·
IMAM AHMAD BIN
HANBAL (IMAM MAZHAB HAMBALI).
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak.
Beliau berkata,
1. “Janganlah
engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i
dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan
Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat
Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan
ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam
atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.)" (Ibnul
Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa
yang menolak hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka
sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab.
Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullaah
shallallaahu ‘alaihi wasallam?
Sumber: Muqaddimah Shifat Shalatin
Nabi, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullaah yang dibedah
dalam kajian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar